Sekali
lagi aku merasa perlu menulis tentang bahasa alay. Maaf kalau kali ini aku
terpaksa bertampang galak.
Selalu
ada saja yang mengirim pesan berbahasa alay padaku. Melihatnya saja sudah
kesal. Mau kuabaikan nggak enak ---karena aku si pengirim berniat baik--, tapi
mau membalas juga susah. Gimana nggak susah, membacanya saja sudah pening
kepala ini.
Yang
membuatku lebih prihatin adalah beberapa ‘penutur’ bahasa alay ini mengaku
pengin jadi penulis. Glekh. Serius nih?
Seandainya
aku seorang editor dan seorang penulis mengirim naskah padaku disertai dengan
pesan pengantar: Qq Ken, aq kiRim cer penQ, tlg diBca en dMu4at eeaaa.
Boro-boro
deh kubaca cerpennya, baca pesannya sampai tamat pun sudah bagus. Nggak peduli
cerpennya ditulis dengan bahasa EYD yang sempurna, kalau pengantarnya
superalay, saya akan melabeli bahwa si penulis memang tidak cakap berbahasa dan
kemungkinan besar cerpennya acak adut.
Itu
seperti seorang pengin jadi penerjemah waktu melamar pekerjaan, dia menggunakan
bahasa Inggris yang kacau balau. Atau seperti orang yang pengin jadi penyiar,
tapi waktu tes wawancara, bicara tergagap-gagap.
Benar,
setiap generasi muda punya bahasa ‘keren’ sendiri. Dulu ada bahasa prokem,
bahasa slang dan bahasa ‘gaul’. Bahasa ini berganti di tiap generasi. Ini nggak
lepas dari sifat anak muda yang selalu pengin beda dan pengin eksis.
Dulu
pada tahun 80an, yang keren adalah bahasa “lupus” kayak memble, kece, doi,
doski, ogut, bokap, nyokap. Pada tahun 90an, mulailah ada bahasa yang
ke-inggris-inggrisan kayak cute, sweet, dan sebagainya.
Tahun 2000an bahasa gaul mencapai perkembangan pesat, ada bahasa ‘bencong’
seperti lekong, akika, mawar, tinta; bahasa sok imut/sok cedal seperti lutuna
dan co cuitt, dan .....BAHASA ALAY.
Lalu
apa bedanya bahasa alay dengan bahasa anak muda lainnya? Bahasa alay adalah
bahasa ‘gaul’ yang sudah melewati batas. Dengan ejaan angka dan huruf yang
dicampur, plus huruf kapital dan huruf kecil yang dipakai berselang-seling
serta vokal dan konsonan yang inkonsistensinya yang sangat tinggi,
bahasa ini sudah merusak tatanan bahasa secara umum. Tidak hanya mengganti
sebuah kata, tapi juga ‘mengganti’ ejaan dan tanda baca.
Teman-teman,
camkan ini baik-baik. Bila kalian pengin jadi penulis, bahasa alay adalah
BAHASA TERLARANG buat kalian. Di mana pun itu, baik di FB, di SMS, apalagi di
cerpen/ novel kalian. Inilah alasannya:
- Editor
adalah pemuja bahasa “sempurna”
Editor
adalah orang yang menentukan apakah naskahmu akan ditebitkan atau tidak. Nah,
para editor ini adalah pemuja bahasa ‘sempurna’. Merekalah yang bertugas
membetulkan kesalahan kata, kesalahan eja, dan sebagainya.
Jadi
boleh dong aku tulis cerpenku seadanya, kan nanti dibetulin juga sama editor.
Salah!
Bayangin, kalau ada dua cerpen yang ceritanya sama-sama oke, tapi yang satu
tata bahasanya nyaris sempurna, sementara yang lainnya acak adut, mana
kira-kira yang dipilih editor? Yang nyaris sempurna dong. Itu membuat
kerjaannya lebih enteng.
Salah
seorang editor di penerbit ternama pernah berkata, “Bisa saja naskah yang tata
bahasanya jelek itu ceritanya bagus. Tapi seringkali naskah yang
tata bahasanya kacau, ceritanya kacau juga.”
Aku
setuju. Biasanya teman-teman yang berbahasa alay ini, cerpennya juga tidak
begitu bermutu.
Coba
lihat blog-blog atau FB penulis terkenal. Taruhan deh, kebanyakan mereka tidak
menulis dengan bahasa alay!
Kembali
pada editor. Editor itu ibaratnya lihat titik koma yang keliru aja bisa
frustrasi, apalagi lihat kata-kata seperti: eeank, s3la”MaT, atau bangedh’. Wa,
bisa kebakaran tuh rambutnya.
- Bahasa
alay sulit dimengerti
Aku
harus membaca berulang-ulang pesan alay sebelum mengerti maksudnya. Kadang aku
bahkan nggak ngerti sama sekali. Bahasa alay kayak sandi, hanya saja sandi tak
beraturan.
- Bahasa
alay tidak konsisten.
Untuk
satu kata ‘ngga’ saja, ada beratus-ratus versi alay-nya: Gag, gak, gk, ga, g4k,
ga’ ...terusin sendiri. Padahal sebuah karya tulis butuh konsistensi. Mana yang
benar: memperhatikan atau memerhatikan? Ada dua pendapat mengenai hal ini dan
sampai sekarang masih diperdebatkan. Nggak masalah kamu pilih salah satu,
asalkan konsisten. Jika memilih 'memperhatikan', ya gunakan terus dari awal
sampai akhir.
Nah,
kalau kata ‘sama-sama benar’ seperti itu aja butuh konsistensi, gimana dengan
kata-kata lain yang memang sudah punya ejaan baku?
- Bahasa
alay adalah bahasa yang tidak sopan
Kamu
tidak akan ber ‘lo-gue’ pada gurumu bukan? Kamu juga nggak bakal pakai bahasa
gaul bila bicara pada ayah ibumu. Ini perkara kesopanan. Tidak sopan
menggunakan bahasa alay kepada orang-orang yang semestinya kamu hormati,
seperti editor, penulis lain, atau pembacamu.
- Bahasa
alay tidak bisa diterima oleh semua golongan
Tidak
semua orang bisa menerima bahasa alay. Jangankan orang-orang dewasa, remaja pun
banyak yang anti-alay. Kalaupun mereka tidak anti, bisa jadi mereka tidak
mengerti. Apa temanmu yang tinggal di pelosok mengenal bahasa ajaib ini? Aku
pikir tidak.
Penerbit
ingin membuka pasar seluas-luasnya. Untuk itu mereka juga memilih bahasa yang
diterima oleh sabanyak mungkin orang. Bahasa alay jelas tidak termasuk.
- Mengurangi
‘kredibilitas’ mu sebagai penulis yang baik.
Sudah
aku tulis tadi, penulis yang berbahasa alay ibarat penyiar yang bicara
tergagap-gagap. Bila kamu berbahasa alay di facebook, itu sama saja mengumumkan
bahwa kamu tidak ingin menjadi penulis yang serius. Penulis yang serius sangat
peduli dengan bahasa dan ejaan. Penulis yang serius bisa membedakan 'di' yang
dipisah atau disambung dengan kata berikutnya (dihati? atau di hati?).
Meski
kamu nggak pakai bahasa alay di cerpenmu, tapi bila wall-mu penuh bahasa alay,
pembacamu bakal mundur. Itu kayak ditawari buku yang katanya bagus, tapi
sampulnya aja berantakan.
Jadi
alih-alih memelintir jarimu dengan ejaan alay yang susah itu, pelajarilah
aturan EYD. Buka kamus dan banyak-banyak membaca. Yang bener itu berfikir atau
berpikir sih?
- Tanpa alay
bukan berarti tulisan kita nggak bisa gaul.
“Aduh, kalau nggak pakai bahasa alay tulisan
kita jadi kaku dong, nggak gaul, kayak karya ilmiah aja. Ngebosenin."
Tidak
boleh menggunakan bahasa alay bukan berarti kamu nggak bisa menggunakan bahasa
informal. Kamu boleh menggunakan ragam bahasa informal/ santai dalam naskahmu.
Kamu bisa menggunakan lo-gue, nggak, cute, atau kasihhhaaan deh, lo dalam
naskahmu. Selama itu kamu tulis dengan ejaan standar yang mudah dimengerti,
naskah kamu tetap bisa dinikmati oleh kawan-kawanmu. Tanpa mengerutkan kening.
Selamat
menjauhi bahasa alay.
Klub Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar